Beberapa kajian dan proyeksi iklim dari lembaga dalam maupun luar
negeri menunjukkan bahwa iklim di Indonesia telah mengalami perubahan,
meskipun analisis ilmiah maupun data-datanya masih terbatas. Dari
beberapa kajian tersebut tampak bahwa perubahan iklim memberi dampak
terhadap multisektor.
Proyeksi iklim selalu mengandung
ketidakpastian. Mengapa? Karena tantangan terbesar adalah melakukan
kuantifikasi terhadap ketidakpastian tersebut untuk meningkatkan daya
gunanya dalam mengambil keputusan.
Dalam hal proyeksi iklim
berdasarkan Global Climate Model (GCM), setidaknya terdapat tiga sumber
ketidakpastian yang harus diperhitungkan, yaitu skenario emisi gas rumah
kaca, sensitivitas iklim global terhadap emisi gas rumah kaca
(pemilihan model GCM), dan respon sistem iklim regional terhadap
pemanasan global (model downscalling).
Catatan geologi dan crhyospheric
perubahan iklim serta hasil observasi baru-baru ini menunjukkan bahwa
sistem iklim berubah pada semua skala waktu dari beberapa tahun ke usia
Bumi. Semua proses fisika, kimiawi, dan biologis mempengaruhi sistem
iklim pada skala waktu puluhan, ratusan, dan ribuan tahun.
Sebagai
contoh, gletser di puncak Jaya Wijaya berfluktuasi pada skala waktu
dari tahunan sampai ratusan bahkan ribuan tahun. Sejak revolusi
industri, gas karbondioksida dipancarkan melalui pembakaran bahan bakar
fosil dan akan diserap, didaur ulang, kemudian bergerak di antara
atmosfer laut serta biosfer selama puluhan sampai ribuan tahun.
Hal
paling penting dalam sains kebumian adalah data dari hasil pengamatan
yang memadai. Tanpanya, prediksi tak akan terlalu banyak manfaat untuk
mengambil keputusan. Penyempurnaan perlu terus dilakukan untuk mengatasi
keterbatasan data maupun metodologi kajian perubahan iklim di Indonesia
sehingga mampu memenuhi nasional akan kebutuhan informasi soal
perubahan iklim yang lebih akurat.
Pengembangan dan perbaikan
model sebagai alat, tidak banyak gunanya tanpa data. Jika kita tak mulai
bergerak mulai hari ini, data pengamatan akan hilang selamanya.
Kesulitan besar bagi para ilmuwan adalah mencoba memahami dan
memprediksi sistem iklim dengan durasi terbatas ditambah data pengamatan
yang sangat tidak memadai dibandingkan usia Bumi.
Sebagai
gambaran, termometer baru ditemukan awal abad ke-17. Pengamatan atmosfer
dengan cakupan global baru dilakukan akhir perang dunia kedua. Bahkan
pengamatan laut skala global baru dimulai awal 1990-an. Terlebih lagi
data bahang untuk gletser Greenland dan Antartika yang baru digarap awal
abad 21. Data paleo memberikan catatan beberapa variabel (misalnya
konsentrasi rata-rata karbondioksida global dari inti es) tetapi masih
kasar dengan presisi terbatas untuk skala ruang dan waktu tertentu.
Gelombang
permukaan laut memiliki periode dominan kurang dari satu detik. Gagasan
untuk memahami fenomena seperti demikian merupakan gagasan tidak masuk
akal. Para ilmuwan mencoba memahami sistem iklim namun harus berhadapan
dengan masalah sulit untuk memahami fenomena fisik yang melebihi skala
waktu dan rentang kehidupan manusia. Siapa yang mengklaim dapat memahami
dampak gangguan besar terhadap sistem iklim berdasarkan data 10 tahun?
Memahami
perubahan iklim akhirnya merupakan masalah bagi beberapa generasi.
Sebuah generasi ilmuwan harus berkarya untuk kebutuhan generasi penerus,
tidak berfokus hanya pada produktivitas ilmiah sesaat. Model iklim saat
ini mungkin akan terbukti dalam 100 tahun mendatang. Dengan sampel
cukup, kalibrasi secara hati-hati, pengendalian kualitas, dan data arsip
untuk elemen kunci sistem iklim maka suatu model iklim akan sangat
berguna. Masalah antar-generasi ini dihadapi pemerintah atau presiden
dari partai apapun.
Prakiraan cuaca dan layanan cuaca nasional
sering dianalogikan dengan masalah iklim. Tapi pengamatan dengan durasi
lama memerlukan pendekatan yang sangat berbeda dibandingkan keperluan
jangka pendek, seperti dalam prediksi cuaca.
Penggunaan data cuaca
sebagai catatan iklim telah banyak dilakukan namun kalibrasi yang tidak
memadai membuat dokumentasi menjadi amat lemah. Selain itu, terjadi
kesenjangan temporal dan perubahan teknologi yang tidak terdokumentasi
atau bahkan kurang dipahami. Pada akhirnya, penggunaan data tersebut
terbukti meragukan dan tidak berguna.
Penggunaan sensor kelembaban
pada radiosonde adalah contoh kasus perubahan teknologi dan kompromi
perbedaan serius antar negara dalam menggunakan data cuaca untuk studi
iklim (Thompson dkk.) sekaligus menunjukkan betapa sulitnya interpretasi
data yang tampak sederhana untuk kemudian ditetapkan sebagai suhu
permukaan laut.
Instansi pemerintah saat ini sudah dapat
memberikan pelayanan dalam memenuhi kebutuhan mendesak dari masyarakat,
misalnya dalam meramalkan gelombang badai. Namun pemerintah belum
melakukannya dengan baik dalam pengamatan jangka panjang.
Merancang,
memelihara, dan mengatasi evolusi teknis pengamatan iklim adalah
persoalan sulit yang butuh wawasan mendalam terhadap sifat masalah,
teknologi, serta potensi yang tersedia. Ini tidak dapat dilakukan
melalui kebijaksanaan sistem anggaran tahun ke tahun.
Yang
dibutuhkan adalah paradigma kebijakan yang masih asing bagi sistem
anggaran pemerintahan konvensional dengan jangkauan sampai puluhan tahun
dan seterusnya. Ketidaksinkronan anggaran tahunan membuat semua program
berisiko. Contohnya yaitu pembangunan sistem pengamatan iklim yang
dimulai dengan administrasi namun berakhir dengan persoalan politik
sehingga fatal akibatnya.
Menggambarkan dan memahami variabilitas
puluhan tahun di laut bukan perkara mudah. Perlu kajian ilmiah yang
jujur mengakui perlunya catatan jauh lebih lama daripada observasi yang
tersedia sekarang. Ilmuwan muda tertarik pada fenomena tersebut namun
tidak dapat melakukannya dalam jangka panjang. Jika masyarakat tidak
menemukan cara untuk mendukung karir ilmiah yang diarahkan pada masalah
tersebut, kita tak akan pernah memahami masalah mendasar yang penting
ini.
Apa yang harus dilakukan?
Beberapa contoh yang relatif
berumur panjang yaitu lembaga yang terfokus seperti universitas.
Meskipun kesinambungan intelektualnya dapat diperdebatkan,
universitas-universitas menunjukkan kemungkinan penciptaan infrastruktur
dan perangkat penelitian iklim yang berguna antar-generasi.
Pendekatan
yang mungkin dilakukan membutuhkan dedikasi sektor swasta atau pribadi
dengan mempertahankan para ilmuwan terbaik yang bersedia mencurahkan
sebagian waktu mereka untuk mengawasi aliran data bagi para ilmuwan
generasi masa depan.
Cara lainnya adalah mempertahankan organisasi
yang memiliki kompetensi ilmiah dan teknis selama puluhan hingga
ratusan tahun. Sektor publik, swasta, nasional, dan lembaga mitra
internasional memerlukan langkah ini untuk mengatasi kebijakan anggaran
tahunan yang konvensional sehingga lebih akurat, menyajikan manajemen
perkembangan teknologi yang jauh lebih baik, dan memperdalam pemahaman
sehingga terhindar dari ketertinggalan dan penurunan kualitas.
Tanpa
menggarisbawahi perubahan iklim sebagai masalah antar-generasi,
proyeksi iklim dan kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan iklim
akan tetap kurang sempurna dan jauh dari kata memadai dalam menghadapi
tantangan yang membentang di depan mata.
Dr Agus Supangat
bertugas di Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim sebagai
Koordinator Divisi Peningkatan Kapasitas Penelitian dan Pengembangan
Sumber : kompas.com
Ditulis Oleh : Unknown ~ Sebagai Admin Blog Herangmata
Sobat sedang membaca artikel tentang Masalah Perubahan Iklim di Indonesia dan Solusi Antar-generasi.Terimakasih Telah Berkunjung di Blog Herangmata, Kritik dan Saran Yang Membangun Sangat di Perlukan Agar Content dan Tampilan Blog ini Menjadi Baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar